Senin, 21 Januari 2013

Kata-Kata Mutiara Bung Karno

Langsung saja kali ini saya akan share Kata-Kata Mutiara dari Bung Karno .

Siapa yang tak mengenal Beliau,dari tua hingga muda semua mengenal sosok nya yang penuh Kharismatik dan Kewibawaan
Suara nya mampu mengguncang dada
 yang mendengar
Tangan nya mampu memecah keras nya karang di lautan
Sosok nya mampu menyihir ribuan mata yang memandang
Dia lah Sang Putra Fajar Koesno Sosrodihardjo atau yang lebih di kenal dengan nama Ir.Soekarno

Berikut Kata-Kata Mutiara Yang Pernah Bung Karno Ucapkan Untuk Membangkitkan Semangat Pemuda-Pemudi Indonesia

“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.(Ir.Soekarno)

“Tidak seorang pun yang menghitung-hitung berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”.(Pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno)

“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya.Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat.Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Ir.Soekarno)

“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun”.(Ir.Soekarno)

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961)

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (Ir.Soekarno)

“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” (Pidato HUT Proklamasi 1963 Ir.Soekarno)

"Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan”(Ir.Soekarno)

“Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali“.(Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno)

“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.”(Pidato HUT Proklamasi, 1950 Ir.Soekarno)

“Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : “Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim,Tuhan tidak merubah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merubah nasibnya”(Pidato HUT Proklamasi, 1964 Ir.Soekarno)

“Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.”(Pidato HUT Proklamasi 1966,Ir.Soekarno)

“Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong”(Pidato HUT Proklamasi, 1966 Ir.Soekarno)

“Aku Lebih suka lukisan Samudra yang bergelombangnya memukul, mengebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem ayem tentrem, “Kadyo siniram wayu sewindu lawase”(Pidato HUT Proklamasi 1964 Ir.Soekarno)

“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” ( Sarinah, hlm 17/18 Ir.Soekarno)

Jasa Kepahlawanan mu akan selalu kami kenang wahai Sang Putra Fajar...


sumber : http://indonesiaku.esc-creation.com/

Minggu, 20 Januari 2013

Biografi Sunan Gunung Jati


Nama asli Kanjeng Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Ia adalah anak seorang puteri raja Pajajaran bernama Rara Santang atau Syarifah Mada’in, yang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah, yang konon putera raja Mesir keturunan Bani Ismailiah. Syarif Hidayatullah memiliki seorang saudara bernama Syarif Nurullah (Suhadi, 1995/1996: 84).
BIOGRAFISemasa muda, Syarif Hidayatullah pergi ke Makkah dan Baghdad untuk menuntut ilmu. Di Makkah ia belajar selama empat tahun, dan berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri serta Syekh Ataullahi Sadzili. Sementara di Baghdad ia belajar tasawuf (Djayadiningrat, 1913). Ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun, sekitar tahun 1475 TU, ia kembali ke tanah Jawa dan bermukim di Caruban dekat Cirebon. Di Cirebon, Syarif Hidayatullah kemudian menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati puteri dari Pangeran Cakrabuana, penguasa Cirebon. Setelah Pangeran Cakrabuana berusia lanjut, kekuasaan atas negeri Cirebon diserahkan kepada menantunya, yaitu Syarif Hidayatullah dan diberi gelar Susuhunan atau Sunan (Suhadi, 1995/1996: 84).
Ketika Kerajaan Islam Demak mendengar adanya seorang penyiar agama Islam di Cirebon, maka atas persetujuan para wali, Raden Fatah selaku Sultan Demak menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Penetap Penata Gama Rasul di tanah Pasundan bergelar Sunan Gunung Jati dan termasuk salah seorang Wali Sanga. Tidak hanya itu, Sunan Gunung Jati ditetapkan pula sebagai pengusa negeri Cirebon (Suhadi, 1995/1996: 84). Dalam Babad Cirebon, Sunan Gunung Jati disebut Ratu Pandita. Artinya Syarif Hidayatullah mempunyai fungsi rangkap yaitu sebagai wali, penyebar agama Islam di Jawa Barat atau tanah Pasundan, dan sebagai raja yang memerintah dan berkedudukan di Cirebon (Tjandrasasmita, 1999: 284-285). Dari Cirebon agama Islam dengan mudah disebarkan ke seluruh wilayah Pasundan, sehingga hampir semua rakyat Sunda memeluk agama Islam (Suhadi, 1995/1996: 84).
Setelah Sunan Gunung Jati diangkat menjadi salah seorang wali, hubungan Cirebon dengan Demak semakin erat. Hubungan tersebut kemudian dikuatkan dengan pernikahan puteri Sunan Gunung Jati bernama Ratu Ayu dengan Pati Unus, putera Raden Fatah (Suhadi, 1995/1996: 84). Berita lain menyebutkan Ratu Ayu menikah dengan Sultan Trenggana, dan setelah Sultan Trenggana wafat, Ratu Ayu menikah dengan Fatahillah (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Purwaka Caruban Nagari menyebutkan Sunan Gunung Jati menikah dengan Nhay Kawunganten, puteri dari Pajajaran dan mempunyai dua orang anak. Anak yang tertua bernama Sabakingking yang kemudian bernama Hasanuddin menjadi Sultan Banten. Anak yang kedua bernama Siti Winahon, lebih dikenal dengan nama Ratu Ayu yang kemudian menikah dengan salah seorang sultan Demak (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Selain dengan Nhay Kawunganten Sunan Gunung Jati juga menikah dengan Nyi Mas Siti Babadan, dari Babadan, Cirebon. Perkawinannya yang lain adalah dengan Rara Jati dari kalangan ningrat Cirebon. Dari perkawinan ini lahir dua orang putera, yaitu Jaya Kelana dan Brata Kelana. Brata Kelana kemudian dikenal dengan nama Pangeran Seda Lautan (pangeran yang meninggal di laut). Isteri Sunan Gunung Jati yang lain bernama Nyi Mas Tepasari dari daerah Bumiayu, Brebes, memiliki putera bernama Pangeran Pasarean yang kemudian menurunkan para Sultan Cirebon (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Sunan Gunung Jati juga disebutkan menikahi seorang puteri dari negeri Cina bernama Ong Tien. Diceritakan bahwa pertemuan Sunan Gunung Jati dengan Ong Tien terjadi ketika Sunan Gunung Jati mengadakan kunjungan ke negeri Cina. Dari pernikahan tersebut mereka tidak dikaruniai anak (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Adanya perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan Ong Tien dari Cina secara langsung maupun tidak langsung berdampak pula terhadap hubungan dagang kedua negeri. Data arkeologi menunjukkan di sekitar Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan di kompleks pemakaman Gunung Sembung banyak ditemukan keramik yang berasal dari negeri Cina.
Pada tahun 1568 TU Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Pasir Jati, yaitu puncak Bukit Sembung, di tepi kota Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, pemerintahan di Cirebon dilanjutkan oleh Pangeran Mas yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu (1570-1640 TU) (Graaf, 1986: 254). Purwaka Caruban Nagari menyebut Panembahan Ratu memerintah sampai tahun 1649 TU, tetapi sumber lain menunjuk tahun 1650 TU.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, tahun 1628 TU, terjadi serangan Mataram terhadap VOC di Batavia, dan pada tahun itu pula terjadi ikatan kekeluargaan melalui perkawinan antara kakak perempuan Panembahan Ratu, yakni Ayu Sukluh dengan Mas Rangsang yang kemudian menjadi Sultan Agung Mataram. Ikatan perkawinan ini memperkuat hubungan antara Panembahan Ratu dengan Sultan Agung Mataram, dan merupakan kelanjutan hubungan yang sudah dibina sejak dari masa Senapati Ing Alaga (setelah menjadi raja bergelar Panembahan Senapati). Diberitakan bahwa pada tahun 1590 TU Raja Mataram, Panembahan Senopati, membantu Cirebon mendirikan atau memperkuat tembok yang mengelilingi kotanya. Perkuatan kota Cirebon tersebut dilakukan oleh Raja Mataram, karena ia menganggap Cirebon sebagai pertahanan keprajuritan di bagian barat kerajaannya.
Setelah Panembahan Ratu wafat pada tahun 1649/1650 TU, ia digantikan oleh cucunya yaitu Panembahan Adiningkusuma, yang kemudian bergelar Panembahan Ratu II. Tidak lama setelah diangkat menjadi raja, ia diundang ke Mataram bersama isteri dan kedua anaknya, yaitu Martawijaya dan Kartawijaya. Panembahan Ratu II sejak berada di Mataram tidak pernah kembali lagi ke Cirebon sampai meninggal pada tahun 1662. Makamnya di Girilaya, sehingga ia dikenal juga sebagai Panembahann Girilaya.
Setelah Panembahan Girilaya wafat, kekuasaan Cirebon terpecah menjadi dua akibat perebutan kekuasaan oleh kedua anaknya. Kekuasan Cirebon kemudian dibagi menjadi dua, yaitu Panembahan Martawijaya menjadi Sultan Sepuh I dengan gelar Abil Makarim Syamsudin, dan Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan Anom I dengan gelar Abil Makarim Badrudin.
Di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati sampai terpecahnya Cirebon menjadi dua kekuasaan yaitu sekitar abad XVII TU sampai XVIII TU, di Cirebon berkembang kegiatan sastra seperti kegiatan mengarang tembang keagamaan Islam, yang disebut suluk, yang bercorak mistik. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh ruhani Sunan Gunung Jati itu masih berlangsung hingga abad XVIII TU.
Sunan Gunung Jati dikenal sebagai peletak dasar Islam di Banten. Babad Banten menceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan puteranya Hasanuddin datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat Banten. Awalnya mereka mereka datang ke Banten Girang, kemudian ke selatan ke Gunung Pulosari, tempat 80 orang ajar (pendeta Hindu) tinggal. Mereka kemudian menjadi pengikut Hasanuddin. Selanjutnya diceritakan, di lereng Gunung Pulosari, Sunan Gunung Jati mengajarkan ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya. Setelah selesai mengajarkan ilmu keislaman, Sunan Gunung Jati kemudian memerintahkan anaknya supaya menyebarkan agama Islam kepada penduduk Banten.
Permintaan Sunan Gunung Jati tersebut kemudian dilaksanakan oleh Hasanuddin dengan berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Dalam menyampaikan agama Islam kepada penduduk lokal, Hasanuddin terkadang menggunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyabung ayam ataupun mengadu kesaktian. Cara-cara ini berhasil, terbukti dengan banyaknya pembesar negeri yang memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.
Pada tahun 1525 TU, seluruh daerah Banten dikuasai oleh tentara Islam dari Demak dan Cirebon yang dibantu oleh pasukan Hasanuddin. Atas petunjuk Sunan Gunung Jati, pusat pemerintahan yang berada di Banten Girang di daerah pedalaman kemudian dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten. Pada pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir tersebut, Sunan Gunung Jati pulalah yang menentukan lokasi dalem (istana), benteng, pasar dan alun-alun yang harus dibangun. Ada beberapa alasan pemindahan pusat pemerintahan tersebut dari Banten Girang ke daerah dekat pesisir, yaitu:
  1. Ekonomi, berdasarkan potensi maritimnya, Banten berpotensi sebagai pelabuhan besar yang dapat menggantikan Sunda Kelapa.
  2. Mistis religius, kota dan keraton yang ditaklukkan harus ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak memiliki kekuatan magis lagi.
  3. Politik, memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa dan pesisir Sumatera melalui Selat Sunda.
Di samping peran dalam proses pengislaman di daerah Banten, Sunan Gunung Jati bersama anaknya Hasanuddin selanjutnya memperkuat dasar Islam di Banten. Hal ini dibuktikan dengan dengan dibangunnya masjid dan tempat kegiatan keagamaan berupa pesantren.
Ada dua masjid yang dibangun di kota Banten pada masa pemerintahan Hasanuddin di daerah ini. Pertama, yaitu Masjid Agung Banten yang terletak di pusat pemerintahan berdekatan dengan Keraton Surosowan. Sementara masjid yang lainnya dibangun di daerah Pecinan letaknya agak ke barat dari bagian kota. Masjid yang berada di Pecinan tersebut telah runtuh, dan kini hanya tinggal menaranya saja. Adapun Masjid Agung Banten masih berdiri kokoh hingga saat ini. Masjid ini beratap tumpang lima susun, dan merupakan model atap tumpang masjid-masjid kuna sebagaimana masjid-masjid lainnya di Jawa.
Dalam masyarakat Islam, masjid merupakan tempat paling utama dalam mengembangkan syiar Islam. Hal ini diperkuat oleh beberapa babad yang menyebutkan tentang peranan masjid sebagai tempat bermusyawarah dan pertemuan untuk membahas masalah keagamaan.

Sejarah Desa Gegesik




GEGESIK
Pangeran Gesang/Ki Gede Gesik berkedudukan di Gesik-Tengah Tani mempunyai tiga anak laki-laki dan satu orang anak perempuan yaitu Ki jagabaya, Ki Sumerang, Ki Baluran dan Nyi Mertasari. Ketika menginjak dewasa, keempat anak itu meminta untuk menguasai tanah cakrahan yang dimiliki ayahnya jauh sebelum dilaksanakan babad hutan. Atas permintaan anak-anaknya itu Ki Gede Gesik mengadakan perundingan dengan Ki Kutub (Sunan Gunung Jati) dan Ki Sangkan (Ki Kuwu Cerbon) yang hasilnya diterima dan disetujui bersama. Ki Gede Gesik selanjutnya memerintahkan keempat anaknya untuk membagi tanah cakrahan miliknya yang terletak di bagian utara perbatasan tanah Cirebon disertai seorang utusan Ki Kutub yang bernama Ki Warga asal Danalaya, guna menyaksikan dan memberikan pertimbangan dalam pembagian tanah itu. Setelah sampai di tanah cakrahan yang akan dibagikan, mereka menemui jalan buntu karena ketiga anak laki-laki mempunyai pendirian yang bertentangan dengan saudaranya yang perempuan. Ketiganya berpendirian bahwa pembagian untuk anak laki-laki harus berbeda dengan anak perempuan. Anak perempuan cukup mendapat bagian tanah sebesar payung. Tentu saja pendirian ketiga saudaranya itu ditentang Nyi Mertasari, karena menurutnya pembagian harus sama luas. Pertentangan pendapat ini cukup memakan waktu lama dan kecil harapan dapat diselesaikan, sedang Ki Warga sendiri tidak sanggup mengatasainya. Oleh karena cukup lama tidak ada kabar berita, Ki Kutub sangat khawatir akan keselamatan Ki Warga dan selanjutnya memerintahkan Ki Panunggul asal Pajajaran menyusul ke tanah cakrahan untuk mengetahui keberadaan mereka. Setelah mendapat keteragan Ki Warga bahwa pembagian tanah cakrahan belum terlaksana bahkan menimbulkan percekcokan, Ki Panunggul membuat kebijakan dengan mengadakan sayembara yang diterima semua pihak dimana Ki Panunggul bertindak sebagai juri dan Ki Warga saksi. Dikatakan oleh Ki Panunggul kepada mereka bahwa “ barangsiapa diantara mereka dapat menadatangkan jenis-jenis hewan isi hutan, maka tanah cakrahan ayahnya seluruhnya menjadi miliknya”. Berturut-turut sayembara dimulai dari Ki Jagabaya dan terakhir Nyi Mertasari. 1.KI JAGABAYA:Dalam waktu sekejap dapat menghadirkan kuda ekor panjang berkerocok baja, dan seekor anjing berbulu tebal. 2.KI SUMERANG:Setelah tangannya menepak air sungai tiba-tiba menjadi kering (Kaliasat) dan muncul buaya putih yang cukup besar. 3.KI BALURAN:Dengan tusukan jarinya ke dalam tanah muncullah seekor ular yang besar seperti pohon kelapa. 4.NYI MERTASARI :Menunjukan tangannya ke kanan dan ke kiri dengan menyebut banteng, singa, macan, badak, maka berdatanganlah binatang-binatang yang disebutnya itu. Selesai melakukan sayembara, Ki Panunggul selaku juri melakukan penilaian seperti berikut: 1.Hasil Ki Jagabaya Kuda berekor panjang dan anjing berbulu tebal tidak dianggap hewan isi hutan melainkan hewan piaraan. 2.Hasil Ki Sumerang: buaya putih yang tidak kecil dianggap hewan laut. 3.Hasil Ki Baluran: ular sebesar pohon kepala dianggap hewan biasa dan terdapat di mana-mana 4.Hasil Nyi Mertasari: banteng, macan, singa dan badak dinyatakan benar tempatnya di hutan dan Nyi Mertasari dinyatakan sebagai pemenang sayembara.
Atas kemenangannya itu, seluruh tanah cakrahan dinyatakan sebagai hak milik Nyi Mertasari, sedang ketiga saudaranya tidak mendapat kekuasaan/hak atas tanah ayahnya itu sedikitpun. Setelah pernyataan dan penyerahan tanah pada Nyi Mertasari, Ki Panunggul bersama Ki Warga pulang untuk menyampaikan laporan kepada Ki Kutub mengenai segala sesuatu yang terjadai pada pembagian tanah cakrahan Ki Gede Gesik, sejak menemui jalan buntu hingga akhirnya diselenggarakan sayembara yang diterima dengan baik oleh Ki Kutub. Ketiga anak laki-laki yang gagal/kalah dalam sayembara merasa menyesal dan kecewa (sesudah ditinggalkan Ki Panunggul dan Ki Warga). Tidak lama kemudian datanglah Ki Warsiki dari Kedungdalem menghampiri ketiganya dan menanyakan mengapa mereka terlihat gundah, murung dan sedih. Pertanyaan Ki Warsiki dijawab dengan terus terang, dan diceritakan oleh ketiga anak laki-laki Ki Gede Gesik itu dari awal sampai akhir. Setelah Ki warsiki mengetahui duduk persoalannya, ia menyarankan agar ketiga anak itu segera menghadap Ki Kutub supaya bersedia meninjau kembali keputusan sayembara yang dilakukan Ki Panunggul. Saran Ki Warsiki diterima baik, akan tetapi mereka tidak berani langsung menghadap Ki Kutub. Mereka akhirnya meminta bantuan dan pertolongan Ki Warsiki untuk menghadap Ki Kutub menyampaikan ketidakpuasan atas hasil sayembara Ki Panunggul. Ki Warsiki menyatakan bersedia dan sanggup menghadap Ki Kutub, ia meminta diberi bagian tanah cakrahan sebagai tanda jasa. Dengan penuh keyakinan Ki Warsiki pergi menghadap Ki Kutub. Sesampainya di Keraton, ia menyampaikan maksud kunjungannya dan menceritakan ketidakpuasan ketiga anak Ki Gede Gesik dalam pembagian tanah cakrahan dengan cara sayembara dan meminta pertimbangan Ki Kutub supaya meninjau kembali keputusan Ki Panunggul. Ki Kutub menyatakan bahwa hal itu bisa saja dilakukan, asalkan Nyi Mertasari sebagai pemenang tanpa paksaan bersedia berunding. Bukan main gembiranya Ki Warsiki setelah mendengar jawaban Ki Kutub. Kemudian Ki Warsiki menemui Nyi Mertasari dan membujuknya supaya mau berunding kembali bersama ketiga saudaranya dalam persoalan keputusan sayembara. Atas pengaruh Ki Warsiki, Nyi Mertasari Menyatakan kesediaannya untuk meninjau kembali keputusan hasil sayembara, dan akhirnya Nyi Mertasari memberikan sebagian tanah cakrahan kepada saudara-saudaranya dan ia menentukan sendiri batas-batas tanah yang diberikan kepada ketiga saudaranya itu. Ki Jagabaya diberi tanah bagian sebelah utara, Ki Sumirang bagian selatan, Ki Baluran bagian barat laut, dan sisanya yang berada ditengah-tengah adalah bagian Nyi Mertasari sendiri. Setelah pembagian tanah dapat diselesaikan dan diterima semua pihak, mereka kemudian berunding kembali dan menetapkan Ki Jagabaya sebagai Ki Gede Jagapura, Ki Sumirang sebagai Ki Gede Bayalangu, Ki Baluran sebagai Ki Gede Guwa dan Nyi Mertasari sebagai Nyi Gede Gesik. Ditetapkan pila Nyi Gede Gesik Sebagai pemimpin daerah itu, karena keunggulannya dalam sayembara. Sesuai dengan janji untuk memberikan tanda jasa, Ki Gede Jagapura memberi tanah yang terletak di sebelah selatan jagapura blok situnggak. Ki Gede Bayalangu memberi tanah di blok sikacang, dan Nyi Gede Gesik walaupun tidak menjanjikan memberi tanah juga di blok sijinten. Adapun Ki Gede Guwa tidak memberi tanah, karena letaknya terlalu jauh. Sebagai gantinya Ki Warsiki meminta supaya Ki Gede Guwa bersedia memikul kebutuhan adat penduduk kedungdalem berupa gamelan panggung. Oleh karena itu hingga sekarang terdapat tanah bagian kedungdalem yang terpisah dari tanah kedungdalem, yaitu blok situnggak, sikacang, sijinten, dan blok panggung wayang. Nyi Gede Gesik meskipun seorang wanita akan tetapi besar sekali hasratnya untuk menguasai tanah, hingga mengadakan perluasan dengan menebang hutan yang berada di tepi pantai sebelah timur laut dari daerahnya yaitu di daerah luwung (leuweung/hutan) Gesik (sekarang terletak dikecamatan krangkeng kabupaten Indramayu). Setelah Ki Kutub mengetahui Nyi Gede Gesik Bermaksud menguasai Luwung Gesik, ia melarangnya. Menurut Ki Kutub tanah itu khusus disediakan untuk para dedemit dan siluman. Oleh karena itu Nyi Gede Gesik tidak jadi melakukan perluasan. Ki Panunggul sangat tertarik akan kecantikan Nyi Gede Gesik, dan bermaksud ingin menjadikannya istri. Atas saran Ki Warga, Ki Panunggul menemui Ki Lebe Embat-embat untuk menikahkannya, akan tetapi Ki Lebe tidak bisa memenuhinya dan disarankan untuk menemui Ki Lebe Bakung, kemudian Ki Lebe Bakung bersama Ki Panunggul berangkat menuju Gesik untuk melaksanakan perkawinan dengan Nyi Gede Gesik. Dari perkawinan dengan Ki Panunggul Nyi Gede Gesik Mempunyai keturunan dua orang. Anak laki-laki diberi nama Raja Pandita, dan yang wanita tidak disebut namanya. Raja Pandita setelah dewasa disayangi oleh Ki Sangkan dan ditugaskan menjaga keamanan di daerah ibunya. Adapun anak wanita disayangi oleh ki Lebe Bakung, dan karena sayangnya Ki Lebe Bakung meminta pertimbangan pada Ki Warga untuk meniokahinya. Sambil tersenyum ki Warga mengatakan kepada Ki Lebe Bakung demikian “kapi asem temen apa ora lingsem pas ngawinaken m’boke, anake arep dikawin dewek”. Karena kata-kata itu Ki Lebe Bakung selanjutnya disebut Ki Lebe Asem. Pada akhirnya terlaksana juga perkawinan dengan anak perempuan Nyi Gede Gesik tersebut. Dari perkawinan ini Ki Lebe Asem mempunyai keturunan dua orang anak laki-laki. Setelah dewasa kedua anak ini meminta orang tuanya untuk dapat menguasai daerah kekuasaan. Atas saran Ki Warga, tanah kekuasaan Nyi Gede Gesik dibagi dan diserahkan kepada kedua cucunya itu.
•Bagian dearah Karadenan kemudian menjadi Gegesik Kidul •Bagian daerah Ketembolan kemudian menjadi Gegesik Lor Oleh karena itu Ki Lebe Asem mempunyai putra lagi sebanyak dua orang, tanah Nyi gede Gesik dibagi menjadi dua itu kemudian masing-masing dibagi dua bagian lagi. Keradenan (GegesikKidul) menjadi Karacenan dan Kedayungan (Gegesik Wetan) ; Ketembolan (Gegesik Lor) menjadi Ketembolan dan Kecawetan (Gegesik Kulon). Sebutan tersebut menunjukan ciri-ciri pemimpin dan rakyat dari masing-masing desa sebagai berikut. Gegesik Kidul/Keradenan pemimpinnya bersifat keningratan, rakyatnya suka/pandai mengarang kata-kata(nganggit omongan). Pimpinan Gegesik Wetan/kedayungan menonjol dalam hal baik maupun buruk, rakyatnya suka beramai-ramai tanpa isi. Gegesik Lor/ketembolan pemimpinnya ditaati bawahan, rakyat senatiasa menggerutu dibelakang; sedangkan Gegesik Kulon/kecawetan pemimpinya disiplin,rakyatnya senantiasa menyerah tanpa bekas.